Oleh : DHARMA SETYAWAN
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada

Kata-kata Agus Salim di atas adalah bukti konsistensi bahwa ideologi jurnalisme tidak dapat dibeli dengan apapun. Pers bagi Agus Salim adalah yang sama pentingnya dengan perjuangan politik karena pers adalah bagian dari Kutub Kekuasaan. Agus Salim sangat tahu apa dan bagaimana pers harus bersikap dan harus membela kepentingan hak-hak rakyat yang tertindas. Agus Salim lebih memilih meletakkan jabatannya sebagai pemimpin surat kabar “Hindia Baru”. Surat kabar itu didirikan tahun 1925 di Djakarta (ejaan lama Jakarta). Pilihan itu pun pada akhirnya menjadikan sebuah jalan sulit karena pendapatannya berhenti dan Agus Salim harus berpindah kontrakan rumah. Sebagai “Hoofdredacteur” dirinya mengisi tajuk rencana dan mengisi ruang “Mimbar Jumat”, serta mengatur cara dan bentuk pemberitaan harian. Oleh Agus Salim “Mimbar Jumat’ diisi dengan khotbah jumat yang saat itu masih sangat asing.
Menurut Roem “Khotbah di mesjid-mesjid umumnya masih dalam bahasa Arab, yang hanya dimengerti oleh mereka yang tahu bahasa itu. Perkumpulan seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam (PERSIS) masih berjuang untuk meyakinkan para Ulama di Indonesia, bahwa khotbah Jumat disamping membaca ayat-ayat Quran dan doa dalam bahasa Arab, tidak melanggar Syariat Islam, bila disertai tafsiran dan penjelasan dalam bahasa melayu atau bahasa daerah yang dimengerti para jema’ah”.[2]

Kesadaran Agus Salim tentang pers Ideologis yang membela rakyat ini memang sangat diacungi jempol. Kala itu masyarakat memang banyak yang tidak bisa membaca, tapi Agus Salim sudah sangat memahami bahwa kerja-kerja pers sangat fundamen untuk menyuarakan dan menyatukan gagasan para intelektual yang jumlahnya terbatas saat itu. Sejarah juga mencatat, Agus Salim beberapa kali mendirikan dan memimpin beberapa surat kabar di pra-kemerdekaan. Pada tahun 1917-1919 Agus Salim bekerja di Balai Pustaka dan juga memimpin surat kabar “Neratja” (Neraca) yang sangat besar pengaruhnya. November 1927 Agus Salim dan Hos Tjokroaminoto mendirikan surat kabar “Fadjar Asia”. Roem menyatakan bahwa pemikiran kedua tokoh di atas saat itu sudah melampaui batas-batas Indonesia. Sehingga Fadjar Asia adalah media internasional yang didirikan oleh Tokoh Islam saat itu. Dan pada tahun 1931-1932 memimpin harian “Mustika” di Djokja, satu-satunya harian Islam terbesar di Indonesia saat itu.
Saat usia tuanya Agus Salim tetap menjaga literasi menulisnya. Pasca pensiun dari aktifitas politik, Agus Salim masih bergiat aktif dalam dunia jurnalis. ST. Alamsjah menuturkan “Karang mengarang dalam madjallah mulai kelihatan pula satu persatu. Sebagai pengarang caliber besar, nama Salim belum dapat dihilangkan. Tulisannja masih hangat dan berisi. Susunan kalimatnja masih gemuk dan menarik hati. Karena itu Salim belum boleh pensiun sebenarnja dari perdjuangan Indonesia ini. Kalau tidak di medan politik, dan kalau tidak di medan diplomasi, maka medan surat kabar adalah penting pula dan banyak memberi hasil”.[3]
Agus Salim adalah pionir jurnalisme ideologis di Indonesia. Dari buah kerjanya banyak generasi-generasi yang tergugah untuk memainkan literasi ilmiah lewat surat kabar. Agus Salim bukanlah sosok pegiat pers yang partisan dan komersil. Media adalah alat perjuangan yang sangat penting bagi sebuah kecerdasan bangsa. Pers bukan milik sepihak, dengan pemberitaan sepihak dan hanya berguna untuk alat segelintir kepentingan. Pers adalah bagian dari pilar demokrasi yang dipahami sebagai bagian chek and balances manakala tidak ada lagi yang bersuara atas dasar kebenaran. Ketika kebenaran dibangun maka pers lah yang juga berperan untuk memberikan ajaran-ajaran terbaik. Pers yang lebih luas hari ini lebih pada perjuangan segala bentuk alat media tidak hanya surat kabar tapi televisi, internet, radio dan lainnya.
Agus Salim sudah meletakkan dasar semangat perjuangan seorang jurnalisme yang benar-benar berjuang untuk membela hak-hak rakyat. Mengambil pelajaran dari sosok jurnalis Agus Salim sangat penting untuk masa depan bangsa ini dengan segala bentuk permasalahan yang muncul. Kemerdekaan yang kita raih sudah saatnya membangkitkan semangat pers yang benar-benar bersuara untuk kebenaran dan mendidik bangsa ini menuju peradaban yang lebih baik. Pers harus dikelola untuk mencapai hak kita sebagai bangsa yang mandiri. Sebagamana Agus salim mengatakan “Wahai bangsaku! kumpulkanlah segala tenagamu dan segala kekuatan hati dan kehendakmu akan mentjapai hak mengurus rumah tanggga kita sendiri!”.[4]
[1] Ucapan Agus Salim setelah berhenti memimpin Surat Kabar “Hindia Baru” milik Belanda. Lihat Lihat, Manusia Dalam Kemelut Sejarah, LP3ES, Jakarta, 1978, hal 110
[2] Ibid, h 109
[3] Lihat, ST. Rais Alamsjah, 10 Orang Indonesia Terbesar Sekarang, Bukit Tinggi, Padang-Djakarta, penerbit Mutiara, 1952 h 132
[4] S.K Neratja, Kemis 24 Djanuari 1918 No 17 th 2, lihat, Djejak Langkah Hadji A. Salim, Tirtamas-Jakarta, 1954 h 37